Kamis, 23 Agustus 2012

dream is hurt

Sepotong Cerita untukmu
Untuk engkau yang:
“Senyumnya selayak candu dan matanya adalah binar mentari” (words by: Mr. Budi Hermawan).
Malam ini aku bersandar di kursi goyang berwarna cokelat tua sambil menggoyang-goyang kursi tersebut (ya eyalah namanya juga kursi goyang pasti enaknya duduk sambil digoyang, hehe). Sesekali aku menyeruput kopi yang sedari tadi kupegang saja. Kedua mataku tertuju ke luar jendela kamarku yang tirainya sengaja belum kututup. Kulihat dua lampu taman dengan bohlam berbentuk bintang menerangi taman rumah. Aku beranjak dari kursi goyang, langkahku berjalan menuju jendela itu. Kupandang langit malam yang pekat di luar sana. Tak terlihat sinar rembulan. Rupanya Sang Dewi malam sedang tak ingin memamerkan sinarnya malam ini.
Malam minggu ya? Aku lupa kalo ternyata malam ini malam minggu, aku membatin. Bagiku, malam minggu terasa seperti malam-malam biasa lainnya; sama saja. Sudah berapa kali malam minggu terlewati; sama saja; nothing special, nothing interesting, just staying at home; alone. Ingin mengajak kedua sahabatku; Rara dan Shinta pergi jalan-jalan nongkrong kemanaaa gitu, hmm percuma! pasti mereka berdua lebih memilih asyik bercengkrama dengan pasangan mereka di malam minggu. Ya beginilah, begitulah nasib jombOlowati (wkwkwk).
Tiba-tiba pintu kamar terbuka.
Terlihat seorang wanita berambut pirang, berkulit putih berdiri tepat di ambang pintu. Dia nyengir kuda.
“ketuk pintu dong, ah rese lu!”
Lagi-lagi dia nyengir kuda.
“ga keluar lu?”
“nyindir”
“udah berapa kali ya gue liat lu ga keluar tiap malam minggu” dia berkata menyebalkan sambil berhitung dengan jemari-jemari tangannya dan senyumnya itu yang menyebalkan.
“ikut gue aja yuk” ajaknya tiba-tiba
“sama mas doni juga?”
“iyalah sama mas doni, secara dia pacar gue gitu lho”
“ah ogah, lu mau jadiin gue kucing conge”
“ya elah masa gue jadiin sepupu gue sendiri kucing conge”
“paling buat gue suruh2 bawa belanjaan kita” kata dia dengan tertawa ngakak
“sialan lu!”
“becanda. Udah ikut aja yuk”
“kemana?”
“pokoknya ke luar”
“ayoo, buruan ganti baju, siap2. gue tunggu lu ya.”
Dia kemudian melesat bagai kilat membelok ke kanan.
“buruaaan” teriaknya masih bisa di dengar.
Aku pun menuruti kak Vera yang adalah saudara sepupuku. Aku seorang mahasiswi semester dua jurusan Sastra Indonesia. Namaku Raya. Aku lahir di Jakarta dan memilih untuk kuliah di Bandung. Orang tuaku tinggal di Jakarta dan di Bandung aku tinggal dengan saudaraku. Aku bergegas mengganti pakaian piyama tidurku ini yang sudah lusuh belum beli lagi dengan pakaian pergi. Mau ngajak kemana sih kak Vera, aku membatin. Setelah siap dengan pakaian pergi, aku keluar kamar menuju ruang bawah.
Terlihat kak Vera sedang asyik duduk di sofa sambil membaca majalah (entah majalah apa aku ga tau, mungkin majalah dewasa, hahaha secara usiaku dengan usia kak Vera lumayan cukup jauh. Ya kira-kira jaraknya 7 tahun).
“mau kemana sih?”
“udah lu ikut aja, daripada bete di rumah”
Terdengar klakson mobil dari luar rumah
“eh itu Doni udah datang”
“Ayuuk ah” kata kak vera sambil menarik tangan kananku.
Sebuah mobil sedan berwarna putih terparkir manis di depan pagar rumah. nampak seorang pria berkisar usia 27 tahun setara dengan usia kak Vera berdiri manis depan mobilnya.
“hai Ra!” sapanya padaku
Aku tersenyum simpul.
“yang disapa kok malah sepupu aku sih ay”
“pengen tau kamu jealous ga, haha”
Tuh belum apa-apa aku udah dipaksa liat “kerumantismean” mereka.
Sebenarnya sih bukan karena aku ga suka melihat sesuatu hal yang bersifat rumantis-rumantis ala orang pacaran tapi mungkin karena aku belum pernah merasakan hal itu jadi rasanya agak sedikit …
“uhuk-uhuk” aku pura2 batuk.
“ya udah yuk ah masuk mobil. Yuk Ra”
“kita mau ke mana sih kakak-kakakku”
“ke mana aja, sekali-kali ngajak kamu jalan adik kecil”
“hellow usia gue udah kepala 2”
Hmm, ternyata lumayan juga ga nyesel deh nerima tawaran kak Vera jalan keluar ngilangin bete karena sepanjang perjalanan di dalam mobil aku tak henti-henti dibuat tertawa ceria sama lelucon2 pasangan itu yang konyol, walau sekali-kali pun dibuat iri melihat yang rumantis-rumantis di depan mata.
Sesampainya di suatu tempat yang ga asing buatku.
“toko buku??”
“iya, kita ke toko buku”
“orang biasanya pacaran ke bioskop atau ke mana gitu, ini ke toko buku?”
“kan ngajak lu” kata kak vera
“kita tuh lagi mau nyari buku buat materi ngajar” kata kak doni
“oh pantes ngajak gue. ya ke toko buku. Kirain ke bioskop atau ke bukit bintang gitu”
“ya udah lu cari buku apa gitu buat kuliah”
“gue ke sana dulu ya”
Aku pun ditinggal sendirian di antara rak-rak yang tersusun rapih berjejer buku-buku. Aku mengitari rak-rak buku itu menuju bagian buku-buku sastra.
Seseorang tiba-tiba menyenggolku.
“eh sorry” ucapnya sekilas
Aku melihat pria yang menyenggolku itu.
Aku terkejut. Pria itu ternyata seorang pria yang kukenal.
“kak Bima” ucapku pelan
“Assalamualaikum, kak” aku menyapa sedikit ragu dalam hatiku untuk berani menyapanya
Kak Bima melirikku
“Raya?”
“iya. Kak sama siapa? Pasti sama ceweknya ya?” uups aduh nih mulut comel banget sih
Kak Bima tersenyum. Duh senyumnya ituuu.. maniss banget kayak maduuu.. mauuu
“sendiri saja” jawabnya singkat.
Kak bima malam minggu ke toko buku sendirian tanpa bawa gandengan. Ah itu ga mungkin. Kak bima adalah guru les bahasa inggrisku. Dia usianya sekitar ya sama dengan kak vera dan kak doni. Kak bima sosok pria yang aku kagumi. Dia tampan. Aku mengaguminya. Wajahnya tampan seperti artis2 hollywood. Aku mengaguminya (sungguh), bukan—tapi bukan karena rupanya yang tampan. Tapi karena sesuatu, sesuatu yang—ah tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tiba-tiba aku tersenyum.
“kamu?” tiba-tiba dia bertanya
Aku terdesak.
“maksudnya?” tanyaku tolol
“iya, kamu sama siapa di sini?”
“saya?”
“sendirian”
“Ooh”
“eh bukan, maksud saya, sama sepupu”
“tapi—tapi sepupu saya bawa pacarnya, dan saya ga bawa pacar jadi saya sendiri. Gitu maksud saya”
Aduh bego amat sih gue. Peduli apa kak bima gue mau bawa pacar atau ga.
“lagi nyari buku apa?”
“oh, ng, itu” aduh gue jadi salting gini sih
“kamu suka buku-buku sastra ya?”
“kok tau” waduh kok kak bima tau ya, jangan-jangan aiiiih aku jadi malu. Aku tak sadar pipiku bersemu merah.
“nebak aja. Kamu kan ada di sini, bagian buku-buku sastra”
Sedikit kecewa. Kirain kak bima nguntilin kegemaran aku dan tau kalo aku suka sastra (over confident).
“saya suka sama wanita yang memiliki hobi yang sama dengan saya”
Hmm, apa tuh maksud. Suatu pertandakah.
“emang hobi kak bima apa?”
“menulis puisi, fiksi”
“saya!” teriakku girang
“kamu?”
“maksudnya?”
“ah ga kak”
“kamu suka menulis puisi atau fiksi?”
Aku mengangguk pelan sambil malu-malu ga jelas. Entah seperti apa warna wajahku saat itu depan kak bima.
“wah sama ya rupanya.”
“bagaimana kalau kapan-kapan kita berdiskusi. Mungkin di sore hari di taman sambil melihat senja yang bergulir menuju malam. Atau sambil menikmati sebatang cokelat berdua. Kita bisa berdiskusi tentang puisi atau fiksi”
Aku melongo. Aku terpaku. Mati rasa. Jantung ini seakan berhenti berdetak. I can say nothing. Krik..Krik..Krik. Ibuuu, mimpi apa aku.
***

GRAUUUUK!!
“Aww, sakiiit. Astagfirullah.”
Tikus?
kyAaaaaaaaa!! ada tikus gigit jari aku. Aduh sakit. Jari telunjukku memerah bengkak.
Yang tadi itu. Nyata atau.
Mimpi?
Cuma mimpi?
Yaaa cuma mimpi.
Tuhan, mengapa Engkau membangunkanku dari mimpi indah itu. Kulirik jam kitty berwarna putih yang menggantung di dinding. Jarum jam menunjukkan pukul setengah enam lewat tujuh menit sore hari. Aku menengok ke arah jendela kamarku. Kupandang langit di luar sana dari jendela kamar. Senja yang bergulir menuju malam.
Sekarang? malam minggu? Aku mendesah sembari melihat jari telunjukku yang semakin memerah.
-SELESAI-

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika terjadi kesamaan tokoh/karakter atau kesamaan kejadian dalam cerita hanyalah kebetulan semata. Cerita ini hanya cerita iseng2 saat saya sedang bosan dan mumet dengan skrips, wkwkw. Maka dari itu tidak terlalu sempurna dan butuh direvisi dan direvisi lagi (mungkin berkali-kali). Oleh karena itu, penulis membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Terimakasih sebelumnya. Wassalam.

0 komentar:

Posting Komentar

Kamis, 23 Agustus 2012

dream is hurt

Sepotong Cerita untukmu
Untuk engkau yang:
“Senyumnya selayak candu dan matanya adalah binar mentari” (words by: Mr. Budi Hermawan).
Malam ini aku bersandar di kursi goyang berwarna cokelat tua sambil menggoyang-goyang kursi tersebut (ya eyalah namanya juga kursi goyang pasti enaknya duduk sambil digoyang, hehe). Sesekali aku menyeruput kopi yang sedari tadi kupegang saja. Kedua mataku tertuju ke luar jendela kamarku yang tirainya sengaja belum kututup. Kulihat dua lampu taman dengan bohlam berbentuk bintang menerangi taman rumah. Aku beranjak dari kursi goyang, langkahku berjalan menuju jendela itu. Kupandang langit malam yang pekat di luar sana. Tak terlihat sinar rembulan. Rupanya Sang Dewi malam sedang tak ingin memamerkan sinarnya malam ini.
Malam minggu ya? Aku lupa kalo ternyata malam ini malam minggu, aku membatin. Bagiku, malam minggu terasa seperti malam-malam biasa lainnya; sama saja. Sudah berapa kali malam minggu terlewati; sama saja; nothing special, nothing interesting, just staying at home; alone. Ingin mengajak kedua sahabatku; Rara dan Shinta pergi jalan-jalan nongkrong kemanaaa gitu, hmm percuma! pasti mereka berdua lebih memilih asyik bercengkrama dengan pasangan mereka di malam minggu. Ya beginilah, begitulah nasib jombOlowati (wkwkwk).
Tiba-tiba pintu kamar terbuka.
Terlihat seorang wanita berambut pirang, berkulit putih berdiri tepat di ambang pintu. Dia nyengir kuda.
“ketuk pintu dong, ah rese lu!”
Lagi-lagi dia nyengir kuda.
“ga keluar lu?”
“nyindir”
“udah berapa kali ya gue liat lu ga keluar tiap malam minggu” dia berkata menyebalkan sambil berhitung dengan jemari-jemari tangannya dan senyumnya itu yang menyebalkan.
“ikut gue aja yuk” ajaknya tiba-tiba
“sama mas doni juga?”
“iyalah sama mas doni, secara dia pacar gue gitu lho”
“ah ogah, lu mau jadiin gue kucing conge”
“ya elah masa gue jadiin sepupu gue sendiri kucing conge”
“paling buat gue suruh2 bawa belanjaan kita” kata dia dengan tertawa ngakak
“sialan lu!”
“becanda. Udah ikut aja yuk”
“kemana?”
“pokoknya ke luar”
“ayoo, buruan ganti baju, siap2. gue tunggu lu ya.”
Dia kemudian melesat bagai kilat membelok ke kanan.
“buruaaan” teriaknya masih bisa di dengar.
Aku pun menuruti kak Vera yang adalah saudara sepupuku. Aku seorang mahasiswi semester dua jurusan Sastra Indonesia. Namaku Raya. Aku lahir di Jakarta dan memilih untuk kuliah di Bandung. Orang tuaku tinggal di Jakarta dan di Bandung aku tinggal dengan saudaraku. Aku bergegas mengganti pakaian piyama tidurku ini yang sudah lusuh belum beli lagi dengan pakaian pergi. Mau ngajak kemana sih kak Vera, aku membatin. Setelah siap dengan pakaian pergi, aku keluar kamar menuju ruang bawah.
Terlihat kak Vera sedang asyik duduk di sofa sambil membaca majalah (entah majalah apa aku ga tau, mungkin majalah dewasa, hahaha secara usiaku dengan usia kak Vera lumayan cukup jauh. Ya kira-kira jaraknya 7 tahun).
“mau kemana sih?”
“udah lu ikut aja, daripada bete di rumah”
Terdengar klakson mobil dari luar rumah
“eh itu Doni udah datang”
“Ayuuk ah” kata kak vera sambil menarik tangan kananku.
Sebuah mobil sedan berwarna putih terparkir manis di depan pagar rumah. nampak seorang pria berkisar usia 27 tahun setara dengan usia kak Vera berdiri manis depan mobilnya.
“hai Ra!” sapanya padaku
Aku tersenyum simpul.
“yang disapa kok malah sepupu aku sih ay”
“pengen tau kamu jealous ga, haha”
Tuh belum apa-apa aku udah dipaksa liat “kerumantismean” mereka.
Sebenarnya sih bukan karena aku ga suka melihat sesuatu hal yang bersifat rumantis-rumantis ala orang pacaran tapi mungkin karena aku belum pernah merasakan hal itu jadi rasanya agak sedikit …
“uhuk-uhuk” aku pura2 batuk.
“ya udah yuk ah masuk mobil. Yuk Ra”
“kita mau ke mana sih kakak-kakakku”
“ke mana aja, sekali-kali ngajak kamu jalan adik kecil”
“hellow usia gue udah kepala 2”
Hmm, ternyata lumayan juga ga nyesel deh nerima tawaran kak Vera jalan keluar ngilangin bete karena sepanjang perjalanan di dalam mobil aku tak henti-henti dibuat tertawa ceria sama lelucon2 pasangan itu yang konyol, walau sekali-kali pun dibuat iri melihat yang rumantis-rumantis di depan mata.
Sesampainya di suatu tempat yang ga asing buatku.
“toko buku??”
“iya, kita ke toko buku”
“orang biasanya pacaran ke bioskop atau ke mana gitu, ini ke toko buku?”
“kan ngajak lu” kata kak vera
“kita tuh lagi mau nyari buku buat materi ngajar” kata kak doni
“oh pantes ngajak gue. ya ke toko buku. Kirain ke bioskop atau ke bukit bintang gitu”
“ya udah lu cari buku apa gitu buat kuliah”
“gue ke sana dulu ya”
Aku pun ditinggal sendirian di antara rak-rak yang tersusun rapih berjejer buku-buku. Aku mengitari rak-rak buku itu menuju bagian buku-buku sastra.
Seseorang tiba-tiba menyenggolku.
“eh sorry” ucapnya sekilas
Aku melihat pria yang menyenggolku itu.
Aku terkejut. Pria itu ternyata seorang pria yang kukenal.
“kak Bima” ucapku pelan
“Assalamualaikum, kak” aku menyapa sedikit ragu dalam hatiku untuk berani menyapanya
Kak Bima melirikku
“Raya?”
“iya. Kak sama siapa? Pasti sama ceweknya ya?” uups aduh nih mulut comel banget sih
Kak Bima tersenyum. Duh senyumnya ituuu.. maniss banget kayak maduuu.. mauuu
“sendiri saja” jawabnya singkat.
Kak bima malam minggu ke toko buku sendirian tanpa bawa gandengan. Ah itu ga mungkin. Kak bima adalah guru les bahasa inggrisku. Dia usianya sekitar ya sama dengan kak vera dan kak doni. Kak bima sosok pria yang aku kagumi. Dia tampan. Aku mengaguminya. Wajahnya tampan seperti artis2 hollywood. Aku mengaguminya (sungguh), bukan—tapi bukan karena rupanya yang tampan. Tapi karena sesuatu, sesuatu yang—ah tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tiba-tiba aku tersenyum.
“kamu?” tiba-tiba dia bertanya
Aku terdesak.
“maksudnya?” tanyaku tolol
“iya, kamu sama siapa di sini?”
“saya?”
“sendirian”
“Ooh”
“eh bukan, maksud saya, sama sepupu”
“tapi—tapi sepupu saya bawa pacarnya, dan saya ga bawa pacar jadi saya sendiri. Gitu maksud saya”
Aduh bego amat sih gue. Peduli apa kak bima gue mau bawa pacar atau ga.
“lagi nyari buku apa?”
“oh, ng, itu” aduh gue jadi salting gini sih
“kamu suka buku-buku sastra ya?”
“kok tau” waduh kok kak bima tau ya, jangan-jangan aiiiih aku jadi malu. Aku tak sadar pipiku bersemu merah.
“nebak aja. Kamu kan ada di sini, bagian buku-buku sastra”
Sedikit kecewa. Kirain kak bima nguntilin kegemaran aku dan tau kalo aku suka sastra (over confident).
“saya suka sama wanita yang memiliki hobi yang sama dengan saya”
Hmm, apa tuh maksud. Suatu pertandakah.
“emang hobi kak bima apa?”
“menulis puisi, fiksi”
“saya!” teriakku girang
“kamu?”
“maksudnya?”
“ah ga kak”
“kamu suka menulis puisi atau fiksi?”
Aku mengangguk pelan sambil malu-malu ga jelas. Entah seperti apa warna wajahku saat itu depan kak bima.
“wah sama ya rupanya.”
“bagaimana kalau kapan-kapan kita berdiskusi. Mungkin di sore hari di taman sambil melihat senja yang bergulir menuju malam. Atau sambil menikmati sebatang cokelat berdua. Kita bisa berdiskusi tentang puisi atau fiksi”
Aku melongo. Aku terpaku. Mati rasa. Jantung ini seakan berhenti berdetak. I can say nothing. Krik..Krik..Krik. Ibuuu, mimpi apa aku.
***

GRAUUUUK!!
“Aww, sakiiit. Astagfirullah.”
Tikus?
kyAaaaaaaaa!! ada tikus gigit jari aku. Aduh sakit. Jari telunjukku memerah bengkak.
Yang tadi itu. Nyata atau.
Mimpi?
Cuma mimpi?
Yaaa cuma mimpi.
Tuhan, mengapa Engkau membangunkanku dari mimpi indah itu. Kulirik jam kitty berwarna putih yang menggantung di dinding. Jarum jam menunjukkan pukul setengah enam lewat tujuh menit sore hari. Aku menengok ke arah jendela kamarku. Kupandang langit di luar sana dari jendela kamar. Senja yang bergulir menuju malam.
Sekarang? malam minggu? Aku mendesah sembari melihat jari telunjukku yang semakin memerah.
-SELESAI-

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika terjadi kesamaan tokoh/karakter atau kesamaan kejadian dalam cerita hanyalah kebetulan semata. Cerita ini hanya cerita iseng2 saat saya sedang bosan dan mumet dengan skrips, wkwkw. Maka dari itu tidak terlalu sempurna dan butuh direvisi dan direvisi lagi (mungkin berkali-kali). Oleh karena itu, penulis membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Terimakasih sebelumnya. Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar