Rabu, 13 Mei 2015

RESENSI NOVEL: DILAN




 

Judul
: DILAN: dia adalah Dilanku tahun 1990
Penulis
: Pidi Baiq
Penerbit
: DAR! Mizan
Tanggal Terbit
: April 2014
Jumlah Halaman
: 332 halaman
Harga
: Rp. 55000
ISBN
: 978-602-7870-41-3

 

“Milea, kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu.

Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja.” (Dilan, 1990)

 

Di atas merupakan sepenggal ucapan Dilan kepada Milea yang tertera pada cover belakang novel ini. Novel ini menceritakan seorang wanita di suatu malam yang sedang nostalgia dan mengulas kembali kisah asmaranya di era tahun 1990-an. Wanita itu bernama Milea.

Milea yang saat itu adalah seorang murid baru di SMA Negeri di Bandung sedang jalan kaki menuju sekolah. Di tengah perjalanannya, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang satu sekolah dengannya mendekati dan menyapanya. Milea yang saat itu belum kenal siapapun di sekolah kecuali teman-teman sekelasnya, kaget. Yang membuatnya kaget adalah ketika laki-laki itu menawarkan dirinya untuk meramal Milea. Ia bingung mengapa laki-laki itu kok malah meramal, bukannya ngajak kenalan. Diramalnya, mereka akan bertemu di kantin. Lalu, lagi-lagi ia diramal oleh laki-laki itu, katanya, besok akan bertemu. Milea berpikir itu tidak akan mungkin terjadi karena besok adalah hari Minggu. Eh, tanpa diduga, laki-laki itu datang ke rumahnya dan memberikannya sepucuk surat undangan yang aneh, yang membuatnya malah jadi penasaran dengan laki-laki itu. Namun, pertemuan-pertemuan aneh dengan laki-laki yang ia juga tidak tahu namanya itu tidak mau ia pikirkan. Lagi pula, saat itu, ia juga sudah punya pacar bernama Beni. Mereka masih menjalin hubungan, meski jarak jauh. Beni berada di Jakarta.

Pada suatu ketika, hari saat Milea mengetahui namanya. Nama laki-laki yang suka meramalnya itu. namanya Dilan dan dia anak geng motor. Sejak mengetahui hal itu, Milea berniat akan menjauhinya, khawatir Dilan hanyalah laki-laki nakal yang suka iseng godain perempuan. Walaupun sebenarnya batinnya tidak berpikir demikian. Namun, Dilan selalu mengganggu dan berusaha mendekatinya. Dilan yang mendekatinya dengan cara yang tak biasa, membuat Milea malah menjadi senang. Dan, ada suatu momen di mana Milea mulai menyukai seorang Dilan! Bagaimana bisa?

Dilan yang terus melakukan pendekatan dengan cara yang aneh, selalu membuatnya senang. Lalu, bagaimana dengan Beni? Apa yang terjadi selanjutnya? Apakah jadinya dengan Dilan atau masih dengan Beni? Penasaran?

Kalau penasaran, beli saja novelnya dan baca kelengkapan ceritanya! Oh iya, saat kau membaca, kau akan tahu sifat Dilan dan Beni sesungguhnya, dan beberapa teman laki-laki Milea yang juga berusaha mendekati Milea (Wow! Seberapa cantikkah ia hingga banyak laki-laki yang ‘klepek-klepek’?).

Kelebihan novel ini ada pada gaya bahasa sang penulis bercerita. Bahasanya enak dibaca dan mudah dimengerti. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, membuat pembaca “hanyut” ke dalam cerita. Selain itu percakapan antar tokoh yang terasa natural dan tidak dibuat-buat. Dan juga, di dalam novel terdapat beberapa ilustrasi yang melengkapi gambaran keadaan isi cerita.

Kekurangan novel ini adalah ketidakkonsistenan penggunaan kata tidak, enggak dan gak dalam narasi. Ya, walalupun itu tidak menjadi masalah juga sih. Dan juga, dialog yang terlalu singkat-singkat dan kebanyakan “hahaha” dan “hehehe”. Tapi, selebihnya novel ini bagus dan menarik untuk dibaca. Pokoknya tidak akan menyesal deh!

Rabu, 13 Mei 2015

RESENSI NOVEL: DILAN




 

Judul
: DILAN: dia adalah Dilanku tahun 1990
Penulis
: Pidi Baiq
Penerbit
: DAR! Mizan
Tanggal Terbit
: April 2014
Jumlah Halaman
: 332 halaman
Harga
: Rp. 55000
ISBN
: 978-602-7870-41-3

 

“Milea, kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu.

Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja.” (Dilan, 1990)

 

Di atas merupakan sepenggal ucapan Dilan kepada Milea yang tertera pada cover belakang novel ini. Novel ini menceritakan seorang wanita di suatu malam yang sedang nostalgia dan mengulas kembali kisah asmaranya di era tahun 1990-an. Wanita itu bernama Milea.

Milea yang saat itu adalah seorang murid baru di SMA Negeri di Bandung sedang jalan kaki menuju sekolah. Di tengah perjalanannya, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang satu sekolah dengannya mendekati dan menyapanya. Milea yang saat itu belum kenal siapapun di sekolah kecuali teman-teman sekelasnya, kaget. Yang membuatnya kaget adalah ketika laki-laki itu menawarkan dirinya untuk meramal Milea. Ia bingung mengapa laki-laki itu kok malah meramal, bukannya ngajak kenalan. Diramalnya, mereka akan bertemu di kantin. Lalu, lagi-lagi ia diramal oleh laki-laki itu, katanya, besok akan bertemu. Milea berpikir itu tidak akan mungkin terjadi karena besok adalah hari Minggu. Eh, tanpa diduga, laki-laki itu datang ke rumahnya dan memberikannya sepucuk surat undangan yang aneh, yang membuatnya malah jadi penasaran dengan laki-laki itu. Namun, pertemuan-pertemuan aneh dengan laki-laki yang ia juga tidak tahu namanya itu tidak mau ia pikirkan. Lagi pula, saat itu, ia juga sudah punya pacar bernama Beni. Mereka masih menjalin hubungan, meski jarak jauh. Beni berada di Jakarta.

Pada suatu ketika, hari saat Milea mengetahui namanya. Nama laki-laki yang suka meramalnya itu. namanya Dilan dan dia anak geng motor. Sejak mengetahui hal itu, Milea berniat akan menjauhinya, khawatir Dilan hanyalah laki-laki nakal yang suka iseng godain perempuan. Walaupun sebenarnya batinnya tidak berpikir demikian. Namun, Dilan selalu mengganggu dan berusaha mendekatinya. Dilan yang mendekatinya dengan cara yang tak biasa, membuat Milea malah menjadi senang. Dan, ada suatu momen di mana Milea mulai menyukai seorang Dilan! Bagaimana bisa?

Dilan yang terus melakukan pendekatan dengan cara yang aneh, selalu membuatnya senang. Lalu, bagaimana dengan Beni? Apa yang terjadi selanjutnya? Apakah jadinya dengan Dilan atau masih dengan Beni? Penasaran?

Kalau penasaran, beli saja novelnya dan baca kelengkapan ceritanya! Oh iya, saat kau membaca, kau akan tahu sifat Dilan dan Beni sesungguhnya, dan beberapa teman laki-laki Milea yang juga berusaha mendekati Milea (Wow! Seberapa cantikkah ia hingga banyak laki-laki yang ‘klepek-klepek’?).

Kelebihan novel ini ada pada gaya bahasa sang penulis bercerita. Bahasanya enak dibaca dan mudah dimengerti. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, membuat pembaca “hanyut” ke dalam cerita. Selain itu percakapan antar tokoh yang terasa natural dan tidak dibuat-buat. Dan juga, di dalam novel terdapat beberapa ilustrasi yang melengkapi gambaran keadaan isi cerita.

Kekurangan novel ini adalah ketidakkonsistenan penggunaan kata tidak, enggak dan gak dalam narasi. Ya, walalupun itu tidak menjadi masalah juga sih. Dan juga, dialog yang terlalu singkat-singkat dan kebanyakan “hahaha” dan “hehehe”. Tapi, selebihnya novel ini bagus dan menarik untuk dibaca. Pokoknya tidak akan menyesal deh!